Meramu DPR Tanpa Kewenangan Legislasi
Padahal semua teori hanya sebatas teori, semua kepercayaan hanya sebatas kepercayaan, sekelompok manusia bisa membangun negara dengan bentuk seperti apa pun yang penting mencapai tujuan bernegara.
PEMBENTUKAN HUKUM
A.S. Munir
5/20/20253 min read
Ide meramu DPR tanpa kewenangan legislasi mungkin adalah ide kenegaraan terlucu yang pernah pembaca dengar. Menjadi lucu karena sebagai sebuah lembaga negara, kadung dipercayai bahwa fungsi utama DPR adalah serpihan kekuasaan dengan jenis legislatif. Padahal semua teori hanya sebatas teori, semua kepercayaan hanya sebatas kepercayaan, sekelompok manusia bisa membangun negara dengan bentuk seperti apa pun yang penting mencapai tujuan bernegara.
Kendati demikian, ide pemegang kekuasaan legislasi merupakan lembaga yang tidak permanen atau ad hoc (diadakan dengan tujuan tertentu atau lembaga sementara) bukanlah ide dari sekedar man on the street saja. John Locke pada tulisan berjudul Two Treatises of Government menyatakan ide itu. Bagi John Locke pembentukan undang-undang atau kewenangan legislasi memiliki kekuatan yang besar karena undang-undang ini memiliki kekuatan mengikat. Karena adanya kekuatan mengikat itu maka John Locke mengkhawatirkan pengisi jabatan parlemen menjadi terlena untuk menggunakan kewenangannya untuk kepentingan dirinya sendiri.
John Locke juga menganggap bahwa pembentukan hukum bisa dilaksanakan secara singkat. Sehingga setelah hukum dibentuk maka forum pembentukan hukum itu kemudian dapat dibubarkan kembali. Peserta dari forum itu kemudian bisa kembali ke masyarakat yang kemudian patuh terhadap hukum yang dibentuknya. Jadi mereka pun tidak akan semena-mena dalam menentukan hukum karena pada akhirnya mereka akan menjadi orang yang terikat oleh hukum itu sendiri.
Tentunya apa yang disampaikan oleh John Locke menjadi relevan sekarang kecuali pada bagian undang-undang bisa dibuat secara singkat. Undang-undang untuk kompleksitas masyarakat saat ini tidak bisa sesingkat yang dibayangkan oleh John Locke. Meskipun pada peristiwa terakhir ternyata terbukti pembentukan undang-undang juga dapat dilakukan secara singkat seperti pada kasus pengundangan perubahan UU TNI.
Sementara itu jika, terkait penyelewengan kekuasaan jika kekuasaan legislatif itu dijadikan permanen dapat dilihat sekarang. DPR yang dicitakan melalui pengubahan UUD 1945 untuk menjadi penyeimbang Presiden atau lembaga eksekutif, kini hanya menjadi lembaga stempel undang-undang bagi eksekutif.
Mudah untuk membuktikan hal itu. Jika dilihat terkait komposisi saja parlemen sekarang diisi oleh perwakilan partai yang pro pemerintah. Anggap saja koalisi pemerintah sesuai dengan deklarasi awal Prabowo-Gibran yaitu terdiri dari Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Gelora, PSI dan Partai Garuda, yang masuk ke parlemen hanya empat partai yang disebutkan pertama denga banyak kursi: Gerindra 86 kursi, Golkar 102 kursi, PAN 48 kursi dan Demokrat dengan 44 kursi maka total anggota DPR yang pro pemerintah adalah 280 dari 580. Total keseluruhan anggota DPR yang pro pemerintah sudah 48% dari total keseluruhan anggota DPR.
Hal itu diperparah dengan realita bahwa setelah terpilih, banyak partai politik yang berkonsolidasi ke pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebut saja PKB, PKS dan Nasdem, makin menguatkan pengaruh pemerintah di parlemen.
Tentunya ide untuk membentuk DPR tanpa kewenangan legislasi tidak seekstrem tindakan Presiden Sukarno yang membubarkan DPR dan rencana Presiden Gus Dur untuk membubarkan DPR. DPR tetap ada, hanya saja kewenangan pembentukan undang-undang menjadi dilaksanakan dengan mekanisme lain. Dengan peniadaan kewenangan pembentukan undang-undang pada DPR maka DPR masih memiliki dua jenis kewenangan yaitu untuk mengesahkan anggaran negara dan melakukan pengawasan terhadap pemerintahan. Tentu kedua kewenangan itu pun kita ragukan bisa dilaksanakan dengan baik jika melihat komposisi DPR seperti saat ini yang mesra dengan pemerintah, namun yang lebih cepat merugikan rakyat adalah pemberlakuan undang-undang yang tidak pro rakyat atau tidak mencerminkan kepentingan rakyat.
Mekanisme lain yang patut dipertimbangkan adalah pembentukan forum ad hoc yang bertugas sewaktu-waktu ketika akan dilakukan pengesahan suatu undang-undang. Untuk pengisian anggotanya bisa menduplikasi rumusan (rancangan) terkait dengan perwakilan golongan yang pernah ada. Kemudian ditambahkan mekanisme pemilihan anggota-anggota forum itu dengan e-partisipasi (pemilihan secara digital) untuk membuat biayanya menjadi lebih murah.
Perumusan perwakilan golongan misalkan terdapat dalam rancangan UU MD3 tahun 1999 yang merumuskan perwakilan atau utusan golongan adalah “. . .mereka yang berasal dari organisasi atau badan yang bersifat nasional, mandiri, dan tidak menjadi bagian dari suatu partai politik serta yang kurang. atau tidak terwakili secara proporsional di DPR dan terdiri atas golongan ekonomi, agama, sosial, budaya, ilmuwan, dan badan-badan kolektif lainnya;” dan dapat ditambahkan lagi pengelompokan lain yang lebih minoritas agar sebaran partisipasinya menjadi semakin merata.
Utusan-utusan golongan pun harus dibuat bergantian untuk menghindari apa yang dikhawatirkan oleh John Locke, yaitu tergoda untuk menyelewengkan kewenangan legislasi. Jadi semisal dalam satu tahun ada 50 undang-undang yang akan dibentuk maka dalam satu tahun itu juga ada 50 lembaga ad hoc pembentuk undang-undang dari utusan-utusan golongan yang tiap lembaga ad hoc itu anggotanya berbeda antara satu anggota lembaga denga lembaga ad hoc lainnya.
Terkait penyusunan metode, mekanisme dan penentuan perwakilan golongan tersebut bolehlah kita percayakan kepada DPR. Meskipun ragu, namun baru cara ini yang terpikirkan oleh penulis yang tentunya terinspirasi dari rancangan UU MD3 tahun 1999. Kendati ada kemungkinan DPR memainkan mekanisme dengan membuat serangkaian metode yang memungkinkan orang-orangnya menjadi utusan golongan namun itu akan diminimalisir jika norma hukum yang pertama dibangun dan dipertahankan adalah rotasi anggota atau utusan dan pembedaan antara anggota suatu lembaga ad hoc yang satu dengan yang lainnya.
Tentunya meskipun terkesan lucu, bukan hanya John Locke saja pemikir sohor yang menyampaikan ide bahwa parlemen tidak harus permanen. Montesquieu dalam The Spirit of Laws atau De l'esprit des lois juga menyampaikan hal serupa. Jadi jika kedua pemikir itu saja memiliki pemikiran demikian maka ide menjadikan DPR tanpa kewenangan legislasi bukan hanya ide yang patut ditertawakan saja, hanya perlu lebih dimatangkan lagi terkait ide, metode, mekanisme dan pelaksanaannya.