Refleksi Relasi Anak-Orang Tua Dalam Ajaran Gus Baha

". . .Demi adab menghilangkan elmu, ndak boleh. Nomor satu itu elmu baru adab.”

OPINI

Aang S.M.

9/12/20253 min read

Di suatu ceramah Gus Baha menyampaikan bahwa terdapat varian dalam menjalankan suatu tujuan. Semisal dalam tujuan melawan hawa nafsu menghasilkan pemikiran berbeda yang melahirkan tindakan berbeda.

Beliau mencontohkan berkaitan dengan “sun tangan” dari jaman dahulu juga ada orang alim yang mau untuk di “sun tangan” ada juga yang tidak dan kedua tindakan itu sah-sah saja. “Jadi dulu Sohabat itu biasa, ada ekspresi tawadu kaya Uwais Al-Qorni gak mau salaman karena takut dicucuk, ada yang suka salaman karena mendidik. Banyak cara mereka melawan nafsunya sendiri, melawan apa? nafsunya.” ungkap Gus Baha.

Berkaitan dengan hal tersebut tulisan ini akan mengulas salah satu contoh yang Gus Baha Sampaikan, yaitu tentang relasi anak dan orang tua. Contoh itu menarik perhatian penulis karena dalam masyarakat kita cukup ketat bahwa anak dibebani seperangkat norma yang menurut penulis menjadikan anak tersebut malah jauh dari orang tuanya.

Gus Baha menyampaikan “Istri saya itu dari keluarga pondok Jawa Timur, itu dulu iskal (janggal), karena anak saya tuh kalau mau jajan, saya tidur pun dibangunkan. “Papa bangun, saya minta uang,” (pen, Gus Baha menirukan permintaan anaknya). Jadi yah sampai sekarang begitu.” Dari pernyataan tersebut dapat kita beri makna bahwa di Indonesia pun sebetulnya ada varian lain berkaitan dengan relasi anak dan orang tua. Di suatu daerah, hubungan anak dan orang tua itu didesain sakral dan kaku namun di suatu daerah atau tepatnya dalam ajaran keluarga Gus Baha relasi tersebut dibuat lebih santai.

Kemudian Gus Baha menambahkan “Istri saya iskal (janggal) karena adat Jawa Timur itu sopan sekali sama orang tua. Tanya saya (pen, Istri Gus Baha ke Gus Baha). . . kenapa itu dibiarkan? Lah jawab saya, kalau gak minta saya nanti minta ke Mbak-Mbak atau Kang-Kang. Orang yang paling harus dingel-ngelno (disulitkan) anak itu orang tuanya. Sehingga yang paling harus diganggu anaknya yah orang tuanya.” Tentunya pernyataan ini mencerminkan hukum dasar atau normalnya manusia berpikir harusnya demikian, anak itu yah tanggung jawab orang tua, anak loh yah, anak dalam pengertian belum dewasa, bukan anak dalam pengertian biologis, sehingga segala kesulitan yang ditimbulkan oleh anak, memang sudah semestinya menjadi tanggungjawab orang tua.

Gus Baha pun mencontohkan hal tersebut dengan menceritakan bagaimana relasi beliau dengan anaknya dan relasi beliau dengan Bapaknya. “Sampai sekarang kan anak saya berani minta mandi saya, minta gendong saya. Kalau orang tuanya saja nggak siap dingel-ngelno lalu apa kata dunia !? kan aneh, nah itu ajarannya Bapak, saya dulu pas bapak Sugeng (hidup) tuh biasa jagongan (duduk bersama) sama bapak. Yah biasa misalnya, “pak kulo pengen mangan (pen, pak saya mau makan” (pen, Gus Baha ke Bapaknya) “yah cung tuku (iya nak, beli)” (pen, tiru Gus Baha terkait jawaban Bapaknya), zaman itu pake Sepeda Motor yah biasa, sama Bapak ke Pandana (nama tempat).” ujar Gus Baha.

Gus Baha pun mengkritik sikap-sikap tidak bertanggungjawab yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anaknya. “Ini kan gak fair kita sebagai orang tuanya gugah gak trimo (pen, dibangunkan anak gak terima), kon ngadusi ngak trimo (pen, diminta memandikan gak terima), orang lain disentak disuruh nyawii, dan orang lain itu pembantu karena kamu gaji. Kamu gaji berapa!? Hubungan anak dengan pembantu itu kan karena uang. Kamu ingin berbasis hubungan hanya karena uang!?” kritik ini juga secara tidak langsung menegaskan bahwa tanggungjawab dalam mengurus anak itu bukan hanya merupakan tanggungjawab perempuan (Istri) saja, termasuk dalam pekerjaan-pekerjaan domestik seperti memandikan anak, memberi uang secara langsung pada anak dan juga pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa sebagaimana pun kondisi kita, semisal punya orang yang membantu di rumah, tugas mengurus anak itu tetap harus dilaksanakan.

“Jadi ini bukan berarti saya bikin konsep, yah cerita saja, banyak guru-guru kita termasuk orang tua saya, kalau ngajarkan gitu, tapi tentu ada orang yang mengajarkan anaknya ra oleh ngugah orang tuane pas turu (pen, membangunkan orang tuanya saat orang tuanya tidur). Yah kalau pas turu (pen, tidur) ada alternatif Ibunya gak papa, kalau Ibunya gak ada? terus alternatifnya orang lain, kan buruk sekali.” ujar Gus Baha menyampaikan bahwa apa yang Ia sampaikan berkaitan dengan relasi anak dan orang tua itu bukan merupakan ajaran yang Ia buat, namun memang orang-orang alim era terdahulu pun banyak yang mengamalkan.

“Orang tua kita (pen, masyarakat) kesuwen (pen, sudah terlalu lama) mendidik adab berlebihan sampai anti elmu (pen, ilmu), yah itu tadi, didik ada tapi anti elmu. “Ojo gugah wong tuamu, wong turu kok digugah (pen, jangan membangunkan orang tuamu, orang tidur kok dibangunkan)”. Akhirnya, nyuwun sewu (pen, mohon maaf), minta tonggo (pen, tetangga), Bule – Bude yang kadang, nyuwun sewu, mereka sendiri susah, ndak punya uang, kan jadi kacau. Demi adab menghilangkan elmu, ndak boleh. Nomor satu itu elmu baru adab.” ungkap Gus Baha mengingatkan bahwa pun mau beradab harus tetap menggunakan ilmu, termasuk dalam mengurus anak.

Gus Baha menyampaikan contoh tersebut untuk menggambarkan perihal yang telah disampaikan pada paragraf pertama tulisan ini. Kendati demikian, penulis lebih sepakat dalam relasi anak dan orang tua, terhadap sikap yang disampaikan Gus Baha. Hal itu dikarenakan poin yang disampaikan Gus Baha penulis yakini juga, anak yah tanggungjawab orang tua, jadi jangan sampai orang tua mau berleha-leha sementara anaknya menyusahkan orang lain.

Silakan klik untuk mendengarkan ceramah lengkap Gus Baha. Terkait tanggal dan pastinya ceramah tersebut, penulis pun tidak yakin, namun suara Gus Baha mampu penulis kenali.