Simulasi Referendum di Indonesia

Mengandai-andai jika suatu saat partisipasi rakyat dalam pembentukan undang-undang lebih besar dari demonstrasi kekecewaan pembentukan undang-undang yang berulang terjadi

PEMBENTUKAN HUKUM

Alka C.G. & Alden D.S.

4/23/20254 min read

Simulasi ini disusun oleh dua AI Generator populer, yaitu Chat GPT dan Deepseek. Simulasi yang lebih komprehensif lebih mungkin tercipta jika diciptakan berdasarkan kajian yang dilakukan manusia, karena sejatinya referendum dalam pembentukan undang-undang hanya alat bagi kemaslahatan manusia. Simulasi ini hanya dipergunakan untuk memberi stimulus untuk membuat rancangan referendum jika diterapkan di Indonesia.

Simulasi Chat GPT

Pendahuluan

Dalam sistem demokrasi Indonesia, pembentukan undang-undang saat ini sepenuhnya berada di tangan DPR dan Presiden. Rakyat tidak memiliki mekanisme langsung untuk menyetujui atau menolak rancangan undang-undang (RUU). Namun, bayangkan jika Indonesia mengadopsi sistem referendum legislatif dan rakyat seperti di Swiss atau beberapa negara bagian Amerika Serikat. Bagaimana sistem itu bisa bekerja di Indonesia?

Struktur Simulasi Referendum di Indonesia

Bentuk Referendum

Dalam simulasi ini, referendum dibagi menjadi dua jenis utama:

  • Referendum Wajib (Obligatoris)
    Diterapkan untuk RUU yang menyangkut perubahan konstitusi (UUD 1945), otonomi daerah khusus, dan isu sensitif seperti agama, pertahanan, dan HAM.

  • Referendum Opsional (Fakultatif)
    Rakyat bisa mengajukan referendum terhadap undang-undang yang telah disahkan oleh DPR, selama dalam waktu tertentu terkumpul sejumlah tanda tangan dukungan.

Mekanisme Referendum Opsional

Langkah-langkahnya sebagai berikut:

  1. Pengesahan UU oleh DPR dan Presiden

  2. Masa Tunggu Referendum: 60 Hari
    Dalam jangka ini, publik bisa mengajukan petisi jika menolak UU tersebut.

  3. Pengumpulan Tanda Tangan

    • Harus terkumpul minimal 1 juta tanda tangan terverifikasi dari setidaknya 20 provinsi, masing-masing menyumbang minimal 50.000 tanda tangan.

    • Petisi diverifikasi oleh KPU dan Bawaslu.

  4. Penyelenggaraan Referendum Nasional

    • Dikoordinasikan oleh KPU.

    • Referendum dilaksanakan bersamaan dengan pemilu daerah atau nasional untuk efisiensi.

  5. Hasil Referendum

    • Jika mayoritas pemilih menolak UU tersebut, maka undang-undang otomatis dibatalkan.

    • Jika diterima, maka tetap berlaku dan tak bisa digugat dalam 5 tahun kecuali melalui Mahkamah Konstitusi.

Contoh Kasus Simulasi

Kasus: UU Cipta Kerja

Jika sistem referendum telah berlaku saat UU Cipta Kerja disahkan (2020), berikut simulasinya:

  • Setelah disahkan, dalam 60 hari, berbagai serikat buruh, LSM, dan organisasi masyarakat mulai mengumpulkan petisi.

  • Dalam 45 hari, terkumpul 1,2 juta tanda tangan dari 27 provinsi.

  • KPU memverifikasi dan menyetujui referendum.

  • Dalam pemungutan suara nasional, 61% pemilih menolak UU tersebut.

  • Hasilnya: UU Cipta Kerja otomatis dibatalkan, dan pemerintah wajib menyusun ulang.

Keuntungan Sistem Ini

  • Demokrasi Lebih Partisipatif
    Masyarakat tidak hanya memilih wakil, tapi juga bisa mengoreksi keputusan mereka.

  • Kontrol terhadap Legislasi Oligarkis
    UU yang dianggap berpihak pada elit dapat dibatalkan secara langsung oleh rakyat.

  • Legitimasi Hukum Lebih Tinggi
    Undang-undang yang lolos referendum mendapat keabsahan dari pemilih secara langsung.

Tantangan

Biaya Tinggi, Pemungutan suara nasional membutuhkan dana besar.

Literasi Hukum Rendah, Banyak warga belum memahami isi RUU secara mendalam.

Polarisasi Politik, Isu sensitif bisa memecah belah masyarakat.

Penyalahgunaan, Referendum bisa digunakan sebagai alat politik elite untuk menjatuhkan lawan.

Penutup: Apakah Mungkin?

Secara hukum, penerapan sistem referendum di Indonesia memerlukan amandemen UUD 1945, terutama pasal-pasal tentang kewenangan DPR dan mekanisme pembentukan UU. Namun, secara politik dan sosial, sistem ini berpotensi meningkatkan kepercayaan publik dan akuntabilitas legislatif.

Jika dijalankan dengan desain kelembagaan yang kuat dan partisipasi masyarakat yang inklusif, sistem referendum bisa menjadi penguat demokrasi Indonesia, bukan pengganggunya.

Simulasi Deepseek

Latar Belakang

Indonesia menganut prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 UUD 1945), tetapi partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang (UU) masih terbatas pada mekanisme perwakilan di DPR. Untuk memperkuat demokrasi langsung, penerapan referendum legislatif dapat dijadikan alternatif. Simulasi berikut menggambarkan kerangka sistem referendum UU yang mungkin diterapkan di Indonesia.

Kerangka Simulasi Sistem Referendum

1. Inisiasi Referendum

  • Mekanisme:

    • Inisiatif Pemerintah/DPR: Pemerintah atau DPR mengajukan RUU yang kontroversial ke referendum untuk legitimasi publik.

    • Inisiatif Rakyat: Warga mengusulkan referendum dengan mengumpulkan tanda tangan 5-10% pemilih terdaftar untuk menghindari penggunaan berlebihan.

  • Pembatasan Topik: Referendum tidak boleh mencakup isu yang bertentangan dengan UUD 1945, seperti bentuk negara atau hak asasi manusia.

2. Verifikasi dan Pengesahan

  • Lembaga Independen: Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau lembaga ad hoc bertugas memverifikasi kelayakan usulan referendum, termasuk kesesuaian topik dengan konstitusi.

3. Kampanye Publik

  • Periode Kampanye: 3-6 bulan dengan edukasi netral oleh KPU dan partisipasi organisasi masyarakat sipil untuk memastikan pemahaman publik terhadap isu.

  • Transparansi: Kampanye harus menghindari hoaks dan diatur dengan batasan dana yang ketat.

4. Pelaksanaan Pemungutan Suara

  • Metode: Gabungan pemungutan suara langsung (offline) dan sistem daring terintegrasi untuk meningkatkan partisipasi.

  • Quorum: Minimal 50% partisipasi pemilih agar hasil dianggap sah.

5. Pengikatan Hasil

  • Binding vs. Non-Binding:

    • Binding: Hasil referendum wajib diadopsi menjadi UU, terutama untuk isu strategis seperti perubahan UUD.

    • Non-Binding: Hasil sebagai rekomendasi untuk DPR, terutama pada isu teknis atau kebijakan spesifik.

  • Mekanisme Pengawasan: Hasil referendum yang mengikat dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk memastikan kesesuaian konstitusional.

Contoh Simulasi Kasus

Kasus 1: RUU Omnibus Law Cipta Kerja (2020)

  • Simulasi:

    • Inisiatif: Koalisi masyarakat mengumpulkan 10% tanda tangan untuk referendum penolakan UU.

    • Proses: KPU menggelar referendum dengan pertanyaan: "Apakah Anda setuju UU Cipta Kerja dicabut?"

    • Hasil: Jika 55% pemilih setuju pencabutan, DPR wajib merevisi atau mencabut UU tersebut.

Kasus 2: RUU Penghapusan Hukuman Mati

  • Simulasi:

    • Inisiatif: Pemerintah mengajukan referendum untuk mengukur dukungan publik.

    • Hasil: Jika mayoritas menolak penghapusan, UU tidak boleh diusulkan kembali dalam periode tertentu (misalnya 10 tahun).

Tantangan dan Solusi

  1. Tantangan:

    • Polarisasi: Potensi perpecahan masyarakat akibat isu sensitif.

    • Infrastruktur: Keterbatasan akses pemungutan suara di daerah terpencil.

    • Manipulasi Isu: Risiko kampanye tidak jujur dan pendanaan gelap.

  2. Solusi:

    • Pembatasan Dana Kampanye: Atur batas maksimal dana kampanye untuk mengaruhi hasil.

    • Mobile Voting Unit: Gunakan unit pemungutan suara bergerak untuk menjangkau daerah terpencil.

    • Edukasi Publik: Sosialisasi berbasis data dan fakta untuk mengurangi hoaks.

Perbandingan dengan Model Swiss dan Selandia Baru

  • Swiss: Sistem referendum mengikat dengan inisiatif rakyat yang kuat, tetapi memerlukan adaptasi dengan sistem presidensial Indonesia.

  • Selandia Baru: Hasil referendum umumnya non-binding, cocok untuk isu yang memerlukan legitimasi publik tanpa paksaan hukum.

Kesimpulan

Penerapan referendum legislatif di Indonesia memerlukan:

  1. Regulasi Khusus: UU yang mengatur mekanisme inisiatif, pelaksanaan, dan pengikatan hasil.

  2. Penguatan Infrastruktur: Pemanfaatan teknologi untuk pemungutan suara yang inklusif.

  3. Edukasi Berkelanjutan: Meningkatkan literasi masyarakat tentang proses dan implikasi referendum.

Referendum dapat menjadi alat untuk memperkuat legitimasi hukum dan mengurangi ketidakpercayaan publik terhadap proses legislatif. Namun, sistem ini harus diintegrasikan secara hati-hati dengan mekanisme perwakilan yang ada agar tidak menimbulkan instabilitas.

Demikian simulasi yang dilakukan oleh Chat GPT dan Deepseek jika sistem referendum pembentukan undang-undang diterapkan di Indonesia. Akan lebih menarik jika simulasi disusun oleh para sarjana hukum atau akademisi lainnya sehingga dapat diuji-coba.

(Tulisan sample, ditulis dengan/oleh Chat GPT dan Deepseek)

people gathering on street during daytime
people gathering on street during daytime