Yang Kita Ketahui Belum Tentu Benar: Kata-Kata Yang Terus Berubah
Dalam layar proyeksi tugas Ervin terpampang jelas menulis satu kata yang tidak lazim. Kata tersebut adalah reviu. Beberapa Mahasiswa mengajukan komplain, karena menggagap Ervin harusnya menulis review (kata dalam bahasa Inggris).
OPINI
Aang S.M.
8/19/20253 min read


Sebelum masuk ke pokok bahasan yang entah apa pokoknya, perhatikan baik-baik kutipan (penggalan) lirik lagu Dewa 19 berjudul Nonsense berikut:
Tak ada kebenaran hakiki yang ada cuma hanya
Kamu di sana dan akulah milikmu
Keyakinan akan sebuah kebenaran
Bukanlah kebenaran, kebenaran yang sejati
Bila tak benar diuji kebenarannya
Begitulah penggalan lirik dari lagu yang rilis pada tahun 2004 tersebut.
Saking terbiasa telinga kita dengan lantunan-lantunan lagu cinta, lagu Nonsense pun banyak yang menerjemahkan demikian. Lagu itu dianggap sebagai rasa ketidakpedulian yang ada pada pecinta ketika mencinta maka Ia hanya akan fokus pada yang dirinya cinta saja. Kalimat inilah yang menyebabkan tafsir demikian “Kamu di sana dan akulah milikmu,”.
Ada pula yang menafsirkan kalimat itu lebih dari sekedar pecinta yang sedang dimabuk cinta kepada lawan jenisnya. Lebih daripada itu, kalimat dalam lagu tersebut dimaknai sebagai kepasrahan dan bentuk penyerahan diri kepada tuhan yang Maha Esa.
Hampir semua hal disangkal melalui lirik-lirik tajam yang diciptakan Ahmad Dhani dalam lagu itu. Satu hal yang tidak disangkal hanya berkaitan dengan: Kamu (Tuhan) di sana (merujuk bukan pada suatu tempat tapi merujuk pada keberadaan suatu Dzat) dan akulah milikmu (se-Aku-Aku-nya Aku, pada dasarnya semua Aku adalah milik Tuhan yang Maha Esa).
Sebagaimana Aku, kebenaran juga hanya milik Tuhan yang Maha Esa. Bukan perkara sulit bagi Tuhan untuk memutarbalikkan realitas. Meskipun kini orang mendewakan dan memuja-muja ilmu pengetahuan ternyata ilmu pengetahuan pun banyak berubah dan tidak selalu definitif kebenarannya.
Sejarah banyak mencatat kepercayaan-kepercayaan yang lahir dari ilmu pengetahuan ternyata di kemudian hari ditemukan kekeliruan, salah besar dan kemudian tidak dipercayai. Sebagian dari cerita kekeliruan pengetahuan orang lampau bisa dibaca dalam artikel yang dirilis IDN Times berjudul “10 Teori Sains Ini Dianggap Benar Sejak Dulu, padahal Salah Besar!”, tentunya Anda pun boleh meragukan apa yang ditulis dalam website IDN Times tersebut.
Terkait kebenaran yang dipercayai belum tentu benar, peristiwa yang menggambarkan hal tersebut pernah terjadi di Kelas Sore Magister Kenegaraan UI Angkatan 2019. Kala itu seorang Mahasiswa bernama Mohammad Ervin Ardani yang biasa dipanggil Pak Lurah oleh kawan-kawan sekelas sedang melakukan presentasi tugas.
Dalam layar proyeksi tugas Ervin terpampang jelas menulis satu kata yang tidak lazim. Kata tersebut adalah reviu. Beberapa Mahasiswa mengajukan komplain, karena menggagap Ervin harusnya menulis review (kata dalam bahasa Inggris). Sebagian Mahasiswa ada yang menahan tawa karena mungkin menganggap Ervin tidak tahu bagaimana cara menulis review. Sebagian Mahasiswa santai, karena memang saltik (salah ketik atau populer di Indonesia disebut typo) merupakan hal yang bisanya dalam proses dan hasil penulisan.
Menanggapi hal itu Ervin dengan percaya dirinya meyatakan di depan ruang kelas yang riuh, reviu merupakan serapan dari kata review dan sudah diadaptasi ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini dikonfirmasi oleh beberapa rekan di kelas dan memang betul ada yang menemukan sumber yang menyatakan kata reviu sudah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu tulisan terbaru terkait kata reviu bisa dilihat dalam tulisan berjudul “'Reviu', Apakah Sudah Menjadi Bahasa Indonesia Baku?” yang ditulis oleh Tata Tambi.
Berkaitan dengan kata pun sebetulnya agak dilematis, karena mana yang menjadi benar yang sudah diakui oleh lembaga terpercaya semisal sudah masuk ke dalam KBBI atau kata yang populer digunakan di masyarakat? Seperti kata populer dari saltik adalah typo. Jadi jika ingin konsisten menggunakan Bahasa maka jika salah mengetik sesuatu maka kata yang tepat digunakan adalah saltik bukan typo. Berbeda jika yang diprioritaskan adalah popularitas, maka menggunakan typo lebih baik dan mungkin saja typo akan senasib dengan review nantinya, diserap menjadi tipo dalam bahasa Indonesia.
Di Indonesia penulisan nama salah satu tokoh populer juga kadang mengikuti yang populer, bahkan mengesampingkan permintaan dari pemilik nama. Sukarno pernah menyatakan dalam suatu wawancara bahwa penulisan namanya yang benar adalah “Sukarno” mengikuti ejaan baru dalam bahasa Indonesia bukan “Soekarno”, namun sampai saat ini orang lebih memilih ejaan lama dalam menulis nama Sukarno, yaitu Soekarno. Mungkin karena penulisan Soekarno lebih vintage dan dramatis dibanding Sukarno. Apa pun alasannya nama seseorang itu hak dari pemilik nama, jadi cara pelafalan dan penulisannya harus mengikuti permintaan pemilik nama. Lihat artikel yang dirilis Tempo.
Jadi kebenaran paling definitif itu adalah perubahan itu sendiri. Bagi peradaban, ketidakpastian adalah kebenaran. Sebagaimana kata-kata yang terus berubah, dunia juga terus berubah, yang tidak menyesuaikan diri akan tergerus dan teralienasi.